SERIBU BINTANG DILANGIT

SERIBU BINTANG DILANGIT

Selasa, 14 Juni 2011

CERPEN BUAH KARYAKU


Subhan Syah
Ku Berdiri Diatas Surga

Cuaca yang panas, debu – debu yang tak diundang berkeliaran mengelilingi Desaku yang terletak jauh dari kota. Yang ada hanyalah hamparan benjolan - benjolan besar dan padang rumput yang liar. Terdengar Suara – suara kelentong yang menghantarkanku berlayar kepulau kapuk tanpa arah yang jelas
“Subhanallah, indah sekali. Kicauan burung yang memanggil – manggil namaku. Sederetan gunung – gunung yang tak sanggup kutatap dengan kedua bola mataku. Burung – burung berterbangan. Dan diburung itu terlihat bayangan wajah bundaku yang sedang memarahiku.
“ di,,,di,,,bangun..bangun..udah sore…!!!” teriak bunda dari arah dapur.
 “hemmmh…” mataku tak mampu kubuka, besi berat serasa ditimpakan pada mataku.
“Didi, bangun bantu bunda. Ayo kita pergi keladang..jangan mendengkur terus, nanti rezeki gak pernah singgah kerumah kita.”
“iyyyaaa,…bun,” jawabku masih belum beranjak dari tempat tidurku. Dengan hati yang berat aku membuka mata dan melangkah keluar kamar menuju sumur dibelakang rumahku. “Didi cuci muka dulu, bun.” Ujarku sambil lalu didepan bunda yang sedang menata makanan kedalam rantang. 
Waktu sudah menginjakkan kakinya pada pukul 15.20, saatnya aku dan bunda bergegas pergi keladang untuk menggemburkan tanah – tanah negeri ini. Ku tak ingin langkah kami didahului oleh matahari yang perlahan berjalan ke barat.
Selesai dari ladang, kami langsung pulang kerumah. Sewaktu diperjalanan kira – kira 1 km dari rumahku. Didi tak sengaja matanya memandang sebuah pohon besar. Ia berpikir kalau pohon besar tersebut dapat dijadikan tempat pertumpangan dan peneropongannya untuk menjelajahi negeri ini. Tinggi Pohon tersebut berkisar 25 meter, rindang. Didi meminta bundanya pulang terlebih dahulu karena ia ingin singgah kepohon besar tersebut.
“ Boleh juga pohon ini. Sekarang Aku akan menaiki pohon ini  sampai kepuncaknya”. Ujar Didi.



Sesampai diujung pohon…….
 “Waw..apakah ini yang dinamakan Surga. Sekarang aq berdiri diatas Surga. Wahai dunia. Betapa indahnya dirimu. ( sambil berteriiak ) gunung yang menjulang tinggi, sawah – sawah menghijau, ladang yang siap mendistribusikan dirinya, awan yang semakin senja. Langit menghitam, Sang Surya yang kian menyembunyikan dirinya dibalik Gunung Mahameru. Disinilah kumenatap pernak - pernik pakaian bumi yang selalu bergonta – ganti setiap saat setiap waktu. Karena mulai gelap, akhirnya aku pulang kerumah sambil berlari – lari.
Setiap malam, tak luput benda bambu yang dibuatkan oleh tangan almarhum ayahku selalu kutiup. Kuberpikir sebaiknya kembali kepohon besar dengan membawa suling. Dengan meniupkan sulingnya aku akan menemukan inspirasi kehidupan.
Ternyata suara suling tersebut didengar oleh Gadis Bunga Anggrek. Sesosok gadis yang masih belum kukenal yang selalu menggunakan kalung anggrek.
“ Indahnya suara suling yang kau lantunkan ke telingaku. Tak sanggup kumenahan sayatan – sayatan bait dihatiku”.  “Bolehkah kumenaiki pohon ini dan singgah dipondokmu”. Teriak Bulan dari bawah pohon.
“silahkan gadis cantik gadis bunga anggrek” teriak Didi dari atas pondok kecil yang terletak dipucuk pohon
Perlahan – lahan kaki gadis tersebut menaiki tangga menuju keatas.
“ jikalau boleh ku bertanya padamu, siapa nama kau?” ujar bulan
“Didi, kuhidup sebagai anak tunggal dikeluargaku. Ditemani seorang Bunda yang bekerja sebagai pembuat kue cucur dengan menjajakannya keliling desa”. Jelasku
“Kenapa kau berdiam diri  dipohon ini sendirian? “Tanya Bulan
“Hati ini tidak mampu menjawab, pikiranku yang terasa berat oleh butiran – butiran kotor yang tidak akan pernah runtuh seperti gunung meletus.” Jawabku
“jikalau boleh tau, butiran apa itu? Percayalah bahwa sang malaikat selalu berada dipundakmu.” Tanya Bulan
“ Jikalau malam menjadi saksi, bulan melihat, bintang mendengar ucapanku. Bisakah mereka mengabulkan segala apa yang kuinginkan saat ini. Kuingin memberi kejutan dihari ulang tahunnya yang ke 60 tahun di hari esok. Pada bundaku yang tercinta sesosok surga penyejuk hatiku dikala malam telah tiba. Beliau terkadang tidak mampu mengais uang dengan keringatnya dan biasanya hanya terbaring diatas ranjang.
“ Teman, lihatlah keatas…lihatlah diawan bintang – bintang yang bertaburan didampingi lampion – lampion kecil pelosok negeri. ia selalu berkedap – kedip. Selalu berusaha ingin disebut bintang oleh semua insan di negeri ini” kata Bulan
Kata – katamu betul juga. Andaikan aku dapat menggengam bintang tersebut. Banyak sekali permintaan kan kuucapkan.
Sembari kutiup suling melantunkan syair – syair malam yang membawa angin kesepian menjemput impian diesok hari. Perjalanan ku masih jauh. Semoga dengan syair malam ini, kudapat merasakan indahnya perjumpaan dikemudian hari…
Hari sudah larut malam, saatnya Aku dan Bulan kembali kerumah masing – masing. Banyak hal yang bisa diambil dari perbincangan  malam itu. Aku kembali kekamar dan tidur ditemani bintang – bintang yang menatapku dari kaca jendela.

Keesokan harinya….hari senin,,,
Aku terbangun dari ranjang tempat tidurku yang kainnya terbuat dari sutra jahitan bunda ku. Segera kumembasuh muka menghilangkan jempul – jempul yang lengket dimataku. Tiba – tiba terdengar lantunan maha dahsayat yang tak sanggup kuartikan satu persatu ayat – ayat tersebut..ADZAN.. itulah nama goresan sabdanya. Menggema diudara, membangunkan kami tuk beranjak melaksanakan kewajibanku selayaknya orang muslim .
Selesai sholah subuh,  Kuratapi bulan yang masih menongolkan tubuhnya dipelosok desa. “ Aku harus bisa! “ kataku.
Sekarang saatnya kesungai. Menekuni kegiatan rutinku. Menimba air untuk pelengkap kebutuhanku. Tiba – tiba Terdengar suara tangisan dari arah bilik dapur. Kuhentakkan kakiku menginjak dapur  yang reot dan kian tumbang bila diterpa angin hebat.
“ Bunda, mengapa bunda menangis ? Didi tak sanggup melihat air mata bunda yang kian jatuh kebumi.” Ujar kataku.
“ Nak, bunda hanya ingin berpetuah padamu. Bila nanti raga ini menghadap Sang Illahi. Jangan pernah Didi meneteskan air mata karena bunda yang terikat oleh kain putih. Perjalanan Didi masih panjang. Mentari dimasa depan akan menjadi sahabat terbaik Didi dimasa depan walau bunda kan tiada.” Petuah Bunda sambil meneteskan air mata.
“ Mengapa bunda mengatakan itu? Kata Aku sambil meneteskan air mata memeluk surgaku.
“Bunda sering sakit  - sakitan. Tulang – tulang ini sudah tidak mampu bergerak” kata bunda sambil mengusap air mataku.
“Bunda jangan berkata seperti itu. Kusayang bunda. Selamat ulang tahun Bunda. Bunda adalah surga yang mengalir deras dimata Didi. Hari ini Didi akan mengikuti lomba music alat tradisional suling. Semoga aku mendapatkan juara untuk bunda. Itulah kado yang dapat kuberikan dihari ulang tahun bunda ke 60 yang tercinta. Mohon doanya ya bun.
“ Ingatlah, Batu besar yang hendak menginjak badanmu harus bisa kau lempar kekawah  gunung merapi agar hancur berkeping – keping selayaknya manusia jangan pernah putus asa. Doa bundamu kan menemanimu untuk menembus impian “ Petuah bundaku dengan tangan yang gemetar.
Pagi telah tiba. Saatnya aku pergi kesekolah dengan jemari – jemari kaki yang tak bergaun. Dengan pernak pernik belajar beserta mimpi juara yang menjadi kado buat bundaku nanti.
Bel memanggil – manggil kami tanda pukul 7 telah tiba. Terdengar suara hetakan dari jauh yang semakin lama semakin mendekat memasuki kelasku. Seketika sunyi senyap kelas kami seperti malaikat datang memberi motivasi untuk kami semua.
 “ Assalamualaikum anak – anak , selamat pagi. Hari ini kalian belajar mandiri. Ibu akan menemani Didi ke SMA Sejahtera didesa sungai Pungah untuk mengikuti lomba Syair menggunakan Suling. Doakan temanmu agar mampu mengharumkan SMA kita yang sudah tak bernyawa ini. Kalian semua adalah Pencetak Generasi Bangsa. Lidah kalian akan membongkar isu – isu koruptor dimasa mendatang. Saksi bisu pemakan dompet rakyat. “ Pekik Bu Fatimah yang lantang membakar semangat kami.
            Bu Fatimah adalah guru perempuan kami satu – satunya disekolahku. Umurnya yang tak jauh berbeda dengan bundaku. Kian lama batang tulang itu semakin Nampak dimataku. Wajahnya yang semakin reot tetapi semangatnya yang selalu berkobar mengibarkan tegaknya Sang Merah Putih. Itulah Bu Fatimah yang cita – citanya untuk menjadi TNI AD tidak kesampaian dikarenakan pelaku ketiga yang  selalu memainkan uang pejabat sehingga ia tidak lulus tes kesehatan. Walaupun sifatnya seperti itu, kutetap menyayanginya seperti bundaku dirumah. Ia lah pemotivasi kami semua.
            Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, Aku dan Bu Fatimah berangkat ke SMA Sejahtera menggunakan sepeda engkol yang reot, rantainya yang berbunyi, bannya yang halus seperti disambar petir milik  bu Fatimah. Kira – kira 3 Km dari sekolah ku.
            Sesampai di Sekolah tersebut. Hatiku berdegub kencang. Aku malu. Badan kumuh ini tak sanggup memasuki ruang audensi. Jemari – jemari kakiku yang tak bergaun tak sanggup melangkah menuju tempat itu. Sekejap ku menatap Wajah pemuda sang konglomerat dengan riangnya menentengkan gitar, biola, kecapi, rebana seruling. Sedangkan aku hanya menentengkan Suling tak bermerek yang kuselipkan di kocek celanaku sebelah kanan.
“ Masyaallah, Inikah yang dinamakan hidup bu? Ujar kataku pada bu Fatimah
 “Sabar ko, kamu pasti bisa. Jangan hiraukan mereka. Bunda dan teman – temanmu menunggu kehadiranmu disana. Mari kita duduk dikursi itu dan menunggu giliran” Jawab Bu Fatimah.
Disuasana yang ramai, detik demi detik, syair demi syair, waktu demi waktu menghampiriku pada undian terakhir. Undian ke 30. Kulangkahkan kakiku keatas panggung. “Aku harus Bisa ? “ pikir anganku.
Bait demi bait kulantunkan kepelosok negeri ini. Dengan syair – syair suling tersebut ke gaungkan keseluruh ruang auidensi yang menghantarkan penonton bertepuk tangan dengan menatap wajahku penuh takjup diakhir acara.
“ terima kasih..terimakasih! syair tadi kupersembahkan buat bunda yang menunggu kedatanganku disore ini. Dihari Ulang tahunnya.  Bunda, sahabat, guru, alam, mentari yang menjadi surga dihidupku. Walaupun dengan sebatang bambu yang reot ini, kubisa menunjukkan pada dunia bahwa aku bisa walau ala kadarnya. Kata Didi sambil meneteskan air mata bermakna.
Sore, itulah yang dapat kuucapkan saat ini. Bagaimana dengan bundaku disana. Akhirnya tibalah pengumuman juara. Juara 3 dan 2 telah disebutkan oleh orang – orang berkompeten yang duduk sambil memegang mik. Kutelah putus harapan. Ku tidak bisa memberi kado buat bunda.
Tiba – tiba …..
“ Juara 1 atas nama Didi utusan SMA Sumber Daya.” Terhentak badanku saat kudengar kata – kata itu. Bu Fatimah langsung mencium dahiku. Allahuakbar! Inilah kado buat bundaku. Kuberterima kasih padamu. Pemotivatorku.” Seru Didi
 Awan – awan menghitam, langit runtuhkan bumi.  Tak nyaman hatiku sesaat angin berhembus kuat kearah wajah ku. Burung beo temanku datang memberikan kabar yang membuat hati ini gelisah. Ku diantar Bu Fatimah dengan sepeda reot kesayangan milik Bu Fatimah. Menyusuri jalan yang berdebu dengan cucuran keringat mengengkol sepedanya Sampailah kami dibilik bambu kecil. Kuterheran melihat keramaian didalam gubukku. Kumasuki pintu dengan penuh kepilauan. Bagai petir menyambar dihatiku. Kulihat ada seseorang terbaring kaku terbungkus kain kafan dikelilingi orang – orang yang sedang membacakan doa. Betapa hancurnya hatiku melihat kenyataan pahit dibola mataku.
“Bunda …. Kenapa begitu cepat kau pergi ? Kusudah menepati janjiku. Lihatlah bunda”. Isakku sambil menangis pilu.  “ Bunda, ini kado buat bunda. Janji Didi pada Bunda. Didi juara 1. Bunda jangan tinggalkan Didi sendirian. Bunda…” teriak didi sambil meneteskan air mata yang membasahi pakaiannya.
Sekujur tubuhnya yang kaku tak sanggup ku Menahan air mata yang kian jatuh ke bumi. Bu Fatimah yang hanya bisa menghiburku. Bulan yang berada disampingku yang hanya bisa mengucapakan kata sabar. Beserta penduduk yang akan menguburkan jenazah bundaku
Keesokan harinya…….
Pagi ini kubuka mataku, melihat sekeliling. Terasa berat aku ingin bangun dari atas tempat tidur. Kuberjalan menuju ruang dapur. Ada yang berbeda dengan hari sebelumnya. Hari – hari biasanya melihat kesibukan seorang ibu tetapi hari ini hanya suara angin terdengar. Ketika sedang memandang dengan pikiran kosong. Kudikagetkan oleh Bulan dan kudiajak kepondok dipohon besar.
Penulis : Subhan Syah
Mahasiswa PGSD FKIP untan
Ketika dipondok pohon tersebut. Sambil memandang alam yang sangat indah disekelilingku. Kusadar  walaupun aku telah ditinggal oleh kedua orang tuaku. Ku masih memiliki seorang pemotivator Bu Fatimah, Sahabat penggores hidupku Si Bulan, Beo peliharaanku, matahari yang tersenyum, hamparan sawah gunung kicauan burung, alam yang mengekspresikan dirinya. Disinilah kumenyadari bahwa KUBERDIRI DIATAS SURGA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar